KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Karya ilmiah ini disusun sebagai syarat seleksi lomba karya ilmiah.
Tersusunnya
karya ilmiah yang beisikan Prosfek Positif Sumber Pangan Di Lahan Transmigrasi ini
juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Maka dari itu tidak lupa kami sampaikan terimakasih yang sebesar
besarnya khususnya kepada kedua
orang tua tercinta yang selalu di hati, Bapak dan Ibu dosen STKIP
PGRI Pontianak serta rekan-rekan
mahasiswa prodi pendidikan geografi teman seperjuangan.
Penulisan
karya ilmiah ini adalah suatu usaha permulaan. Oleh sebab itu, dalam
penulisannya, tentu saja masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga untuk
menyempurnakan laporan ini kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan.
Dengan
kritik dan saran tersebut, diharapkan penulisan karya ilmiah berikutnya bisa
menjadi lebih baik dan bisa menjadi sumbangan yang lebih berharga lagi dalam
membina dan mengembangkan kemampuan dalam pembuatan sebuah karya tulis ilmiah.
Pontianak, 6 September 2013
Penyusun
Aji Nugroho 235110001
Aji Nugroho 235110001
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
D. Manfaaat
Penulisan
E. Metodologi
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Transmigrasi
Di Indonesia
B. Tujuan
Transmigrasi
C. Pengembangan
Wilayah Transmigrasi
D. Pembangunan
Wilayah Transmigrasi
E. Membangun
Ketahanan Pangan Di lahan Transmigrasi
F. Evaluasi
dan Kesesuaian Lahan
G. Optimalisasi
Di Sektor Pertanian Dan Perternakan
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki persebaran penduduk
yang sangat timpang. peringkat pertama dengan populasi
terbanyak adalah Pulau Jawa dengan populasi 136.610.590 jiwa. Pulau Sumatera
menduduki tempat kedua dengan populasi 50.630.931 jiwa. Sementara itu Pulau
Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, dan Papua dan Maluku secara
berurutan masing-masing memiliki populasi 17.371.782 jiwa, 13.787.831 jiwa,
13.074.796 jiwa dan 3.593.803 jiwa (BPS 2010).
Di Pulau Jawa,
proses pemiskinan terjadi karena terlalu padatnya
penduduk. Sebaliknya, di luar Jawa, proses pemiskinan disebabkan justru karena
kekurangan penduduk. Desa-desa di luar Jawa banyak yang berpenduduk sangat
sedikit dan lokasinya terpencil sehingga jika dibangun sekolah akan kekurangan
murid, jika dibangun jalan atau dipasang jaringan listrik, biayanya sangat
mahal dan tidak efisien, jika dibangun pasar, pembeli dan barang yang
diperjualbelikan sedikit. Akibatnya desa-desa itu tetap tertinggal.
Untuk
mengatasi permasalahan ini diperlukan pemindahan penduduk dari Pulau Jawa dan daerah yang memiliki
penduduk terlalu padat ke pulau-pulau lainnya di
Indonesia yang kepadatan penduduknya relatif masih jarang. Di Indonesia proses
pemindahan penduduk ini, meskipun kurang tepat, dikenal dengan istilah
transmigrasi. Mungkin yang lebih tepat adalah migrasi dalam negeri atau antar daerah,
namun meskipun demikian, tulisan ini tetap menggunakan istilah transmigrasi
karena sudah sangat umum dipakai dan juga digunakan oleh instansi resmi di
Indonesia.
Kenyataan
menunjukkan bahwa pelaksanaan transmigrasi tidaklah semudah merancang dan
menuliskannya di atas kertas. Pelaksanaan transmigrasi memiliki banyak
tantangan, hambatan, bahkan kegagalan-kegagalan yang telah dialami pada berbagai
sektor di beberapa lokasi Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dan tercatat hingga
tahun 2013 sekarang masih banyak daerah transmigrasi yang masih tertinggal
dalam hal pembangunan infrastruktur publik dan pengembangan ekonomi terkait
pemanfaatan sumber daya yang terdapat di daerah transmigrasi untuk
kesejahteraan penduduk.
Transmigrasi tak hanya
menjadi alternatif pemerataan penduduk namun
memiliki prospek yang lebih dari itu mulai dari pemerataan perekonomian,
optimalisasi sumber daya, menjaga kedaulatan negara atas suatu daerah, dan
bahkan yang paling potensial yakni membangun ketahanan pangan nasional dengan
mengembangkan berbagai produk pertanian dan perternakan yang menjadi sumber
pangan nasional misalkan komoditi padi, jagung, umbi-umbian serta hewan ternak
dan lain-lain sehingga permasalahan kekurangan pangan serta mahalnya harga
pangan yang selalu terjadi setiap tahunya dapat di atasi, berangkat dari latar
belakang inilah pembahasan mengenai taransmigrasi dan ketahanan pangan di rasa
penting untuk membantu memberikan solusi terbaik bagi negara terkhusus
pemerintah yang menjalankan kebijakan terkait program – program pembangunan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah di jabarkan di atas dapat di ambil beberapa rumusan
masalah yang akan di bahas lebih spesifik pada penulisan pembahasan yakni
terkait bagaimana perkembangan dan pembangunan transmigrasi di indonesia serta membangun prosfek ketahanan pangan
nasional dengan mengevaluasi kesesuaian lahan dan arahan penentuan produk serta
bagaimana pengoptimalisasianya.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan paper ini adalah untuk melihat sejauh mana
transmigrasi di
indonesia berkembang dan dapat mengatasi masalah
kemiskinan akibat timpangnya persebaran penduduk di Indonesia dan
masalah-masalah apa saja yang menjadi penghambat yang dihadapi oleh pemerintah
dan para transmigran serta hal- hal yang mungkin menjadi penarik transmigran untuk mengikuti program
transmigrasi dalam rangka memperbaiki tarap hidup dalam perekonomian,
pembangunan di berbagai daerah penduduk jarang serta membangun ketahanan pangan
nasional dengan mengoptimalisasi penggunaan sumber daya lahan.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat
yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Praktis
Sebagai referensi bagi mahasiswa, guru, pemerintah
serta masyarakat pada umumnya untuk mengetahui dan mencari berbagai solusi
dalam mengani pengembangan wilayah transmigrasi serta masalah yang terkait yang
dapat menjadi alternatif bagi solusi kondisi perekonomian dan kesejahteraan
masyrakat di derah transmigrasi
2. Teoritis
a. Mahasiswa
Makalah ini dapat dijadikan kajian awal atau
referensi dalam pembuatan karya tulis yang berkaitan dengan membangun ketahanan
pangan dan kesejahteraan masyarakat pada prosfek potensialnya lahan
transmigrasi
b. Lembaga
Makalah ini dapat dijadikan literatur perpustakaan
di STKIP PGRI Pontianak demi kemudahan mahasiswa dalam mendapatkan referensi
untuk pembuatan makalah ataupun karya tulis ilmiah yang lain.
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan ini terutama menggunakan studi kepustakaan. Data-data
di peroleh dari berbagai buku dan tulisan yang mendukung penulisan ini. Data
yang diperoleh kemudian diolah untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan
transmigrasi di Indonesia, serta masalah-masalah yang timbul akibat pembukaan
lokasi transmigrasi dan bagaimana membangun ketahanan pangan nasional di
berbagai daerah transmigrasi di Indonesia. Dengan menggunakan literatur yang
terkait terutama tentang kaitan antara transmigrasi dengan pembangunan dan optimalisasi
produk pertanian dan peternakan demi terciptanya ketahanan pangan nasional
dicoba dilihat bagaimana literatur yang ada dapat mendukung penulisan ini. Data
yang telah diolah tersebut kemudian diinterpretasi untuk melihat sejauh mana
hubungan antara transmigrasi dengan kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi masalah kemiskinan dan persebaran
penduduk yang timpang serta solusi alternatif mengembangkan ketahanan pangan
nasional di kawasan transmigrasi.
BAB
I
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Transmigrasi
di indonesia
Transmigrasi
sebagai salah satu mawar yang cantik namun tak seharum bunganya, begitulah
perumpamaan yang menyindir program yang telah di laksanankan sejak kolonial
belanda hingga sekarang walau berbeda arti namun tetap saja problema selalu
timbul mulai dari pembangunan yang setengah- setengah, perekonomian yang
terkesan berjalan sendiri dan mengadu nasib di lahan yang tak terkelola dengan
baik. di Indonesia transmigrasi biasanya diatur dan didanai oleh pemerintah
kepada warga yang umumnya golongan menengah ke bawah. Sesampainya di tempat
transmigrasi para transmigran akan diberikan sebidang tanah, rumah sederhana
dan perangkat lain untuk penunjang hidup di lokasi tempat tinggal yang baru
namun kesejahteraan jangka panjang blum bisa di miliki masyarakat trans
dikarnakan pengelolaan yang belum maksimal dan baik membuat masyarakt seolah
berdiri sendiri untuk menata lahan trans yang belum siap untuk di maksimalkan
pemanfaatanya.
Secara
definitif transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari suatu wilayah yang
padat penduduknya ke area wilayah pulau lain yang penduduknya masih sedikit
atau belum ada penduduknya sama sekali untuk mengoftimalkan pemabangunan daerah
tersebut.
Pembangunan
transmigrasi di Indonesia merupakan program pemindahan penduduk terbesar di
dunia yang pernah dilakukan oleh pemerintah ( Patrice Levang, 1995). Pemerintah
berperan aktif secara langsung dalam proses penyiapan permukiman, penempatan
transmigran dan pemberdayaan masyarakat. Program transmigrasi semacam ini tidak
ada duanya di dunia, termasuk di 27 negara yang pernah melakukan pemindahan
penduduk. Setiap negara dalam membangun program transmigrasi mempunyai latar
belakang, tujuan, dan sasaran yang spesifik dan disesuaikan dengan kepentingan nasionalnya
masing-masing.
Program transmigrasi di Indonesia antara lain untuk memanfaatkan secara
lebih optimal potensi sumberdaya alam guna meningkatkan taraf hidup
transmigran, mengurangi tekanan kepadatan penduduk, dan mendorong pembangunan
daerah. Menyelenggarakan program transmigrasi dalam jumlah besar seperti di
Indonesia tidaklah mudah, seperti yang sering dikatakan oleh para pengamat,
namun perlu tindakan yang cermat, terkoordinasi, dan terus menerus, apalagi
Indonesia memiliki jumlah suku bangsa lebih dari 962 suku yang mendiami sekitar
17.667 pulau ( Aminuddin Rasyad, 2002 ).
Menurut penilaian Bank Dunia ( 1988 ), bahwa program transmigrasi telah
memberikan kontribusi yang berarti pada perluasan lahan garapan, yaitu sebesar
3.8 % dari luas lahan pertanian di Indonesia. Transmigrasi juga telah
menyumbang pada peningkatan produksi beras di daerah luar Jawa selama Pelita
III yaitu sebesar 5 %. Kehidupan transmigran meskipun sedikit kekurangan beras,
di permukiman transmigrasi tidak pernah mengimpor beras karena transmigran
dapat mengkonsumsi singkong dan jagung sebagai pengganti makanan pokok beras
hasil produksi pertanian mereka sendiri.
Transmigrasi memberikan sumbangan pada perluasan jaringan jalan di
beberapa provinsi, besarnya sumbangan tersebut sekitar 20 % di kepulauan luar
Jawa, Madura dan Bali dan bahkan mencapai 50 % di empat provinsi yaitu Lampung,
Kalbar, Kalteng dan Kaltim. Perluasan jaringan jalan tersebut berupa jalan
masuk ke lokasi permukiman transmigrasi. Disamping itu Bank Dunia juga menilai
bahwa program transmigrasi dapat menciptakan kesempatan kerja 1,3 hingga 1,6 orang
kerja per tahun untuk setiap keluarga transmigran.
Sementara itu Arndt (1983) mengatakan bahwa bila pembangunan daerah diukur
dengan persentase pertambahan penduduk, jumlah hektare lahan yang dibuka, luas
garapan, dan peningkatan produksi pertanian pada provinsi tujuan, maka
kontribusi transmigrasi tidak disangsikan lagi. Arndt juga mengatakan bahwa
pada priode 1950 – 1972 jumlah emigrasi dari Jawa rata-rata per tahun sebanyak
94.000 jiwa dan jumlah imigasi ke Jawa rata-rata per tahun sebanyak 48.000
jiwa, dengan demikian emigrasi bersih dari Jawa sebanyak 46.000 jiwa. Pada
priode 1975 – 1980 jumlah emigrasi dari Jawa rata-rata per tahun sebanyak
221.000 jiwa dan jumlah imigasi ke Jawa rata-rata per tahun sebanyak 104.000
jiwa, dengan demikian emigrasi bersih dari Jawa sebanyak 117.000 jiwa.
Program transmigrasi juga merupakan kegiatan investasi, yaitu human
investment dan capital investment. Sebagai human investment transmigrasi
berdampak positif dalam meningkatkan kualitas dan kesejahteraan transmigran dan
masyarakat sekitarnya, sedang sebagai capital investment transmigrasi telah
memberikan dampak positif terhadap pembangunan daerah (Siswono Yudo Husodo, 2003
).
Adapun Jenis-jenis atau macam-macam
transmigrasi berdasarkan penyelenggaraanya dapat di bedakan menjadi lima, yakni
sebagai berikut :
1. Transmigrasi
Umum
Transmigrasi
umum adalah program transmigrasi yang disponsori dan dibaiayai secara
keseluruhan oleh pihak pemerintah melalui depnakertrans (departemen tenaga
kerja dan transmigrasi).
2. Transmigrasi
Spontan / Swakarsa
Transmigrasi
adalah perpindahan penduduk dari daerah padat ke pulau baru sepi penduduk yang
didorong oleh keinginan diri sendiri namun masih mendapatkan bimbingan serta
fasilitas penunjang dari pemerintah.
3. Transmigrasi
Bedol Desa
Transmigrasi
bedol desa adalah transmigrasi yang dilakukan secara masal dan kolektif
terhadap satu atau beberapa desa beserta aparatur desanya pindah ke pulau yang
jarang penduduk. Biasanya transmigrasi bedol desa terjadi karena bencana alam
yang merusak desa tempat asalnya.
4. Transmigrasi Sektoral
Transmigrasi lokal merupakan
tansmigrasi yang di selenggarakan antar departemen
5. Transmigrasi lokal
Transmigrasi lokal merupakan bentuk
transmigrasi yang perpindahanya masih dalam satu wilayah yang sempit, misalnya
dalam lingkup provinsi
Sampai
saat ini tercatat terdapat 36,387 peserta transmigrasi yang tersebar
diseluruh provinsi di Indonesia. WPT yang merupakan wilayah potensial yang
ditetapkan sebagai pengembangan pemukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat
pertumbuhan wilayah harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sementara LPT adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai pemukiman transmigrasi
untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau sedang
berkembang. Berdasarkan kementrian ketenagakerjaan dan transmigrasi
mencatat ada sebanyak 512 lokasi yang tedaftar sebagai tempat transmigrasi di
kabupaten dan provinsi yang tersebar di seluruh indonesia.
Faktor pendorong / pendukung dan dampak positif
terjadinya transmigrasi
yang paling utama ialah peningkatan jumlah penduduk di pulau – pulau tertentu
seperti jawa, bali dan lombok mendorong pemerintah untuk melaksanakan
transmigrasi. Namun yang paling utama motif seseorang ikut transmigrasi adalah
keadaan ekonomi. Hal ini didasari atas adanya perbedaan ekonomi antara
perkotaan dan pedesaan. Oleh karena itu mobilisasi penduduk terjadi apabila
adanya perbedaan kefaedahan nilai ( palace utility ) antar daerah asal dan
tujuan.
Faktor pendorong transmigrasi yang lain antara lain
berkurangnya Sumber Daya Alam ( SDA ), telah menyempitnya lapangan
pekerjaan di daerah tempat tinggal, adanya bencana alam di daerah asal.
Di
samping faktor pendorong juga ada faktor penarik transmigrasi antara lain kesempatan
mendapatkan pendapatan yang lebih baik, kesempatan memperoleh pendidikan yang
lebih tinggi, ajakan dari
orang yang di jadikan tempat berlindung. Serta dampak positif yang dapat di timbulkan dari program
transmigrasi itu sendiri sebagai berikut :
1. mengurangi
kepadatan penduduk yang tidak merata.
2. Meningkatkan
persatuan & kesatuan dengan cara melakukan transmigrasi dari daerah yang
padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.
3. Memproduksi
beras dalam kaitan pencapaian swasembada pangan..
4. Meningkatkan hasil pertanian dan
kesejahteraan masyarakat.
5. Merangsang pembangunan di daerah
baru.
Sedangkan faktor penghambat / kendala dan dampak
negatif terjadinya transmigrasi
adalah seperti adanya konsep orang jawa yang mengatakan mangan ora mangan asal kumpul walaupun
menurut Parsudi Suparlan mengatakan konsep di atas adalah konsep yang dilihat
pada abad 18 dan kenyataan pada masa sekarang tema utama yang ada dalam budaya
jawa adalah kumpul ora kumpul
asal mangan ( Muhajir Utomu dan Rofiq Ahmad, 1997p.149 ). Namun hal
ini masih menyebabkan migran cenderung untuk terikat dengan daerah asal karena
adanya kekuatan sentripetal daerah yang kuat sehingga mereka sering bersifat
penduduk bilokal ( bilocal population ).
Selanjutya faktor lain yang menjadi
penghambat dari pelaksanaan transmigrasi adalah berkembangnya sektor ekonomi
informal seperti pedagang kaki lima, penjual koran, home industri dan lain-lain sebagai
alternatif menanggulangi pengangguran secara mandiri. Maraknya perluasan
kesempatan bekerja di luar negeri juga merupakan salah satu yang dapat
menghambat program transmigrasi,
serta faktor penghambat yang lain adalah karena suatu
administrasi terpusat yang efektif dan kuat tidak ada. Salah satu masalah utama
yang di hadapi adalah pemilihan tempat yang kurang baik dilihat dari sudut
lokasi, mudah tidaknya di capai dan kondisi tanah yang kesemuanya
menyebabkan perkembangan proyek tersendat – sendat, terbengkalai atau
reabilitasi yang mahal ada tahap berikutnya atau kerusakan ekologis yang
serius. Masalah umum lainnya adalah banyak proyek mengalami keterlambatan
pembangunan prasarana seperti jalan utama (yang penting bagi pemasaran ),
irigasi dan supply bibit dan input – input lain milik BIMAS atau
program-program pertanian lain yang sangat terlambat datangnya atau kalu tidak
jumlahnya tidak mencukupi. Di daerah asal jawa tempat transmigran dipilih ada
beberapa masalah endemis. Misalnya batas usia tertinggi transmigran yang
dipilih sering dijumpai usia lanjut yangg sangat mempengaruhi kemampuan pemukim
membuka dan mengerjakan lahannya. Adapun
dampak negatif dari transmigrasi antara lain :
1. Kecemburuan
antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun – tahun pertamanya,dan pelaksanaan transmigrasi
terkadang menimbulkan kecemburuan sosial antara penduduk asli dengan para
pendatang.
2. Pada awal
Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam
bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.
3. Gejolak di
Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para
transmigran.
4. Berkurangnya areal hutan untuk lahan
permukiman sehingga mengurangi keseimbangan ekologi di lahan trans.
5. Terganggunya habitat hewan liar di
daerah tujuan transmigrasi karena lahan yang tadinya merupakan habita bagi
satwa dan tempat tumbuh satwa di buaka untuk di jadikan areal pemukiman,
pertanian dan berbagai infrastruktur penunjang masyarakat transmigrasi.
B.
Tujuan Transmigrasi
Tujuan
resmi program ini adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di
pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan
memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau – pulau
lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Kritik mengatakan bahwa pemerintah
Indonesia berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi
lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatislokal.
Program ini beberapa kali menyebabkan persengketaan dan percekcokan, termasuk
juga bentrokan antara pendatang dan penduduk asli setempat.
Seiring dengan perubahan lingkungan
strategis di Indonesia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru sebagai
berikut
:
1. Mendukung
ketahanan pangan dan penyediaan papan.
2. Mendukung
kebijakan energi alternatif ( bio – fuel ).
3. Mendukung
pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia.
4. Mendukung
ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan.
5. Menyumbang
bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan
Transmigrasi tidak lagi merupakan
program pemindahan penduduk, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah.
Metodenya tidak lagi bersifat sentralistik dan top down dari Jakarta, melainkan
berdasarkan Kerjasama Antar Daerah pengirim transmigran dengan daerah tujuan
transmigrasi. Penduduk setempat semakin diberi kesempatan besar untuk menjadi
transmigran penduduk setempat (TPS), proporsinya hingga mencapai 50 :50 dengan
transmigran Penduduk Asal (TPA). Menurut UU No. 3
tahun 1972 yang menyebutkan bahwa tujuan transmigrasi adalah :
1. Peningkatan
taraf hidup dan pembangunan
daerah.
2. Keseimbangan
penyebaran penduduk.
3. Pembangunan
yang merata diseluruh Indonesia.
4. Pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya manusia.
5. Pemersatuan
bangsa serta memperkuat
pertahanan dan keamanan nasional.
Selanjutnya
dengan UU No. 15 tahun 1997 tentang ketransmigrasian, maka kebijakan
transmigrasi mengalami perkembangan lagi. Kebijakan transmigrasi pada orde baru
ini diarahkan untuk meningkatkan transmigrasi dan masyarakat sekitarnya,
peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa. Penyelenggaraan transmigrasi mempunyai sasaran sebagai peningkatan
dan kemampuan produktifitas masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian dan
mewujudkan integrasi di pemukiman transmigrasi sehingga di harapkan membawa
implikasi positif secara ekonomi, sosial dan budaya pada daerah penerima
transmigran.
C.
Pengembangan
Wilayah Transmigrasi
Paradigma pembangunan
selama beberapa dekade
terakhir terus mengalami
pergeseran dan perubahan-perubahan mendasar. Dalam pengkajian kebutuhan pengembangan
kapasitas bagi pemerintah
daerah dalam kerangka normatif perencanaan pembangunan
daerah, GTZ (2000) memberikan pendapat, bahwa
berbagai pergeseran akibat
adanya distorsi berupa
kesalahan di dalam menerapkan model-model
pembangunan selama ini
adalah:
1. kecenderungan
dengan pendekatan melihat pencapaian tujuan-tujuan pembangunan yang diukur
secara makro menuju
pendekatan lokal (regional)
2. pergeseran dari
situasi yang harus memilih
antara pertumbuhan, pemerataan
dan keberlanjutan pada keharusan melakukan
pembangunan secara berimbang
3. pergeseran
asumsi tentang peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat di dalam proses
pembangunan (perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian).
Pembangunan dapat diartikan
sebagai suatu perubahan yang
diinginkan untuk mencapai suatu
tujuan tertentu dengan
kondisi yang lebih
baik dari pada sebelum
pembangunan. Pembangunan harus
dipandang sebagai suatu
proses multidimensional yang mencakup
berbagai perubahan mendasar
atas struktur sosial, sikap-sikap
masyarakat dan institusi-institusi nasional,
disamping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan
ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Syahroni,2002).
Dengan demikian pembangunan harus mencerminkan perubahan total dari suatu
masyarakat atau penyesuaian sistem sosial
secara keseluruhan tanpa
mengabaikan keragaman
kebutuhan dasar dan
keinginan individual maupun
kelompok-kelompok sosial
yang ada
di dalamnya untuk
bergerak maju menuju
suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara
material maupun spiritual (Rustiadi et al.,
2004).
Konsep pengembangan
kawasan transmigrasi merupakan
salah satu strategi
untuk pengembangan wilayah
baru. Menurut Rustiadi
et al. (2004), strategi pengembangan
dan pembangunan kawasan
transmigrasi di luar
pulau Jawa menjadi sangat penting, secara teoritis strategi tersebut
dapat digolongkan dalam dua kategori strategi,
yaitu demand side strategy dan supply side strategy. Strategi
pertama, demand side
adalah suatu strategi
pengembangan wilayah yang diupayakan
melalui peningkatan permintaan
akan barang-barang dan jasa
dari masyarakat setempat
melalui kegiatan produksi
lokal yang dapat meningkatkan pendapatan
dan konsumsi masyarakat
lokal. Tujuan pengembangan wilayah
secara umum adalah
meningkatkan taraf hidup penduduk. Contoh
dari strategi demand
side adalah program
transmigrasi yang diharapkan akan
meningkatkan permintaan barang-barang
non pertanian. Efek dari
peningkatan permintaan barang
non pertanian tersebut
adalah menarik industri barang
dan jasa. Dalam
strategi ini diharapkan
masyarakat mampu mengelola sumberdaya
alam (lahan) yang
ada melalui insentif
(rangsangan kegiatan).
Konsep pengembangan
wilayah transmigrasi dengan
strategi demand side didasarkan
pada 6 (enam)
stadia pengembangan yaitu:
1. stadia sub-subsisten, pada tahap ini para
transmigran belum mampu memenuhi kebutuhan pokok dan
kebutuhan untuk produksi
sehingga kebutuhan sehari-hari
masih harus dibantu oleh
pemerintah;
2. stadia subsisten, pada tahap ini
transmigran mampu memenuhi kebutuhan
pokok saja;
3. stadia marketable
surplus, pada tahap ini
transmigran telah memperolah surplus dari
kegiatan pertanian. Seiring dengan
kondisi surplus ini
terjadi situasi dimana
timbul permintaan terhadap barang dan jasa (kebutuhan
sekunder), sehingga memungkinkan perkembangan sektor-sektor non-pertanian
khususnya yang didasarkan
pada output pertanian. Pada stadia
ini mulai terdapat
diversifikasi pekerjaan;
4. stadia industri pertanian, merupakan
stadia yang diharapkan
tumbuhnya industri pedesaan seiring dengan
perkembangan spesialisasi pekerjaan
didasarkan pada comparative advantage
atas wilayah-wilayah lainnya;
5. stadia industri
non-pertanian, pada stadia
ini diusahakan terdapat
peningkatan permintaan barang-barang mewah; dan
6. stadia
industrialisasi (Rustiadi et al., 2004). Model
strategi pengembangan dan
pembangunan kawasan transmigrasi dengan pola demand side, dalam
kenyataannya sering kali tertahan sampai pada stadia ke
dua. Namun ada
yang sampai pada
stadia ke tiga.
Keuntungan digunakan
strategi demand side
adalah strategi ini sangat stabil,
tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan di
luar daerah yang
berkaitan dengan perubahan struktur
kelembagaan yang mantap. Sedangkan kerugian strategi ini memerlukan waktu
yang relatif lama,
karena tiap stadia
membutuhkan transformasi
teknologi dan transformasi
struktur kelembangaan (Rustiadi
et al., 2004).
Pengertian dari
strategi kedua, supply
side adalah suatu
strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi
modal untuk kegiatan produksi yang
berorientasi keluar. Tujuan
penggunaan strategi ini adalah
untuk meningkatkan suplai dari
komoditi yang pada
umumnya di proses dari
sumberdaya alam lokal.
Adanya peningkatan penawaran
akan meningkatkan ekspor wilayah
yang akhirnya akan
meningkatkan pendapatan lokal. Hal
ini akan menarik
kegiatan lain untuk
datang ke wilayah
tersebut (Rustiadi et al,2004).
D.
Pembangunan
Kawasan Transmigrasi
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor: 15
tahun 1997 tentang ketransmigrasian, menyatakan
tujuan program transmigrasi
adalah meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarkat sekitarnya,
peningkatan dan pemerataan pembangunan
daerah serta memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa.
Sasaran utamanya adalah:
1. pemerataan penduduk
di seluruh wilayah Indonesia
melalui usaha pemindahan
penduduk dari daerah yang
berpenduduk padat seperti
pulau Jawa, pulau
Madura dan Bali
ke daerah yang berpenduduk
masih jarang,
2. mengembangkan
wilayah-wilayah yang
potensial yang masih
terbelakang melalui pemaduan
sumberdaya alami yang potensial di
daerah tersebut dengan
sumberdaya manusia sehingga
diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya,
3. mempercepat tercapainya
kehidupan yang layak bagi
penduduk, baik penduduk
setempat maupun transmigran
melalui peningkatan
pendapatan yang lebih
besar dari kebutuhannya
sehingga dapat endorong perkembangan
pemukiman lebih maju
dan pada akhirnya meningkatkan perekonomian
wilayah,
4. menciptakan keseimbangan pembangunan antar
wilayah di seluruh
Indonesia, danmeningkatkan
ketahanan nasional.
Pembangunan permukiman transmigrasi
yang selama ini
dibangun oleh pemerintah belum
sepenuhnya mampu mencapai
tingkat perkembangan secara optimal, yang mampu menopang
perkembangan wilayah, baik wilayah itu sendiri atau wilayah
lain yang sudah
ada (Anharudin et
al., 2003). Pembangunan
Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) memang dirancang agar secara ekonomi
dapat menopang pertumbuhan kawasan
di sekitarnya dan
memberikan kontribusi
terhadap wilayah lain
melalui distribusi barang
dan jasa. Namun
dalam realitasnya banyak UPT
atau kawasan transmigrasi
belum sepenuhnya mampu menopang perkembangan
wilayah, bahkan banyak
lokasi transmigrasi yang dibangun
justru berada pada
posisi terpencil (Danarti,
2003). Dengan demikian pembangunan kawasan
transmigrasi belum sepenuhnya
mampu mempercepat proses pembangunan
wilayah dengan mendorong
terbentuknya pusat pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu
dimasa depan, prinsip
yang dipegang dalam pembangunan
kawasan transmigrasi adalah kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/ Kota
(RTRWK) dan memungkinkan bagi pengembangan spasial secara menyeluruh
(Priyono, 2003).
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 2
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi
pada pasal 13
ayat (1) dan
(2), kawasan yang diperuntukkan sebagai
rencana Wilayah Pengembangan
Transmigrasi harus sesuai dengan
tata ruang wilayah/
daerah. Selain itu,
juga harus memenuhi syarat: memiliki potensi yang dapat
dikembangkan sebagai produk unggulan yang memenuhi skala ekonomi, mempunyai
kemudahan hubungan antar kota atau
wilayah yang sedang
berkembang, dan tingkat
kepadatan penduduk masih rendah.
Penggunaan istilah kawasan
di Indonesia digunakan
karena adanya penekanan
fungsional suatu unit
wilayah (Rustiadi et al., 2004).
Karena itu definisi konsep
kawasan adalah adanya
karakteristik hubungan dari
fungsi-fungsi dan komponen-komponen di
dalam suatu unit
wilayah, sehingga batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek fungsional. Dengan
demikian setiap kawasan atau
sub-kawasan memiliki fungsi-fungsi
khusus yang tentunya memerlukan pendekatan
program tertentu sesuai
dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.
Pembangunan kawasan transmigrasi dilakukan secara terencana. Hal ini
disebabkan pembangunan kawasan
transmigrasi memerlukan biaya
yang tidak sedikit, karena di
dalam satu kawasan transmigrasi terdapat tiga sampai lima unit permukiman transmigrasi
dan satu unit
permukiman transmigrasi merupakan embrio dari
satu desa atau
satu kelurahan. Dengan
demikian dalam satu awasan
transmigrasi memerlukan luasan
lahan yang cukup
luas untuk membangun permukiman,
lahan-lahan usaha pertanian,
sarana dan prasarana permukiman, baik
sarana dan prasarana
di unit permukiman transmigrasi, antar unit permukiman di dalam
satu kawasan maupun antar kawasan.
Dalam suatu proses
pembangunan terdapat pentahapan
perencanaan pembangunan.
Secara filosofis, suatu
proses pembangunan dapat
mempunyai makna sebagai upaya yang sistemik dan berkesinambungan untuk
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi
pencapaian aspirasi setiap warga
yang paling humanistik
(Rustiadi et al.,
2004). Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses
perbaikan yang berkesinambungan
atas suatu masyarakat
atau suatu sistem
sosial secara keseluruhan menuju
kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi.
Perencanaan merupakan
suatu tahapan dalam
proses pembangunan secara keseluruhan.
Perencanaan dapat didefinisikan
secara berbeda-beda, namun dalam
pengertian yang sederhana, perencanaan adalah suatu cara untuk
mempersiapkan masa depan
(Syahroni, 2002). Sedangkan
menurut Rustiadi et al, (2004), perencanaan adalah suatu
proses menentukan apa yang ingin dicapai dimasa
yang akan datang
serta menetapkan tahapan-tahapan yang
dibutuhkan untuk mencapainya. Berbeda
dengan batasan ini,
Hayashi (1976),
mendefinisikan perencanaan sebagai suatu
proses bertahap dari
tindakan yang terorganisasi untuk
menjembatani perbedaan antara
kondisi yang ada
dan aspirasi organisasi.
Berdasarkan pemahaman tersebut,
maka suatu perencanaan
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. harus
menyangkut masa yang akan datang,
2. menyangkut tindakan,
dan
3. terdapat suatu
elemen identifikasi pribadi
atau organisasi, yakni serangkaian
tindakan untuk masa
yang akan datang
yang diambil oleh perencana.
Dari berbagai pendapat dan definisi yang dikembangkan mengenai
perencanaan secara umum hampir selalu terdapat dua unsur penting, yaitu unsur yang
ingin dicapai dan
unsur cara untuk
mencapainya (Rustiadi et al.2004). Dalam
konteks perencanaan pembangunan berkelanjutan kawasan
transmigrasi, maka unsur
yang ingin dicapai
adalah pembangunan wilayah dan
cara untuk mencapainya
adalah dengan pemanfataan
sumberdaya lahan untuk usahatani secara optimal.
Program transmigrasi telah
terbukti mampu meminimalisir permasalahan kependudukan. Pulau-pulau
yang kepadatan penduduknya
sangat tinggi seperti Jawa,
Madura dan Bali, lambat-laun kepadatan penduduk mulai
turun dan daya dukungnya untuk
memenuhi kebutuhan hidup
penduduk mulai meningkat. Sedangkan pulau-pulau
yang potensi sumberdaya
alamnya melimpah, namun potensi
sumberdaya manusianya kurang,
telah berkembang dan
mampu untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakatnya setelah
diterapkannya program
transmigrasi (Pasaribu, 2004).
Pembangunan transmigrasi ke
depan masih dipandang
relevan sebagai suatu
pendekatan untuk mencapai
tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah,
serta perekat persatuan
dan kesatuan bangsa.
Namun demikian, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi
perlu diperbaharui, dan disesuaikan dengan
kecenderungan (trend) perubahan
yang terjadi, terutama perubahan pada
tata pemerintahan Pada
kurun waktu 2004-2009, penyelenggaraan transmigrasi
diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah,
melalui pembangunan pusat-pusat
produksi, perluasan
kesempatan kerja, serta
penyediaan kebutuhan tenaga
kerja terampil baik dengan
peranan pemerintah maupun
secara swadana melalui
kebijakan langsung maupun tidak langsung. Kebijakan transmigrasi
diarahkan pada tiga
hal pokok yaitu:
1. penanggulangan
kemiskinan yang disebabkan oleh
ketidakberdayaan penduduk untuk memperoleh tempat tinggal yang layak;
2. memberi
peluang berusaha dan kesempatan kerja;
3. memfasilitasi pemerintah
daerah dan masyarakat
untuk melaksanakan
perpindahan penduduk (Anharudin
et al., 2003).
Untuk kawasan timur
Indonesia pembangunan transmigrasi
diarahkan untuk: mendukung pembangunan wilayah
yang masih tertinggal, mendukung pembangunan wilayah perbatasan,
dan mengembangkan permukiman
transmigrasi yang telah ada,
pembangunan permukiman baru
secara selektif, dan pengembangan desa-desa/permukiman
transmigrasi potensial. Di era otonomi daerah, tatacara penyelenggaraan transmigrasi
dan pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan terhadap tuntutan
perkembangan keadaan saat ini.
Pelaksanaannya harus memegang
prinsip demokrasi, endorong peran
serta masyarakat, mengupayakan
keseimbangan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan karakteristik daerah (Anharudin et al., 2003).
Pembangunan transmigrasi pada
masa otonomi daerah
lebih diutamakan kearah
pembangunan dan pengembangan wilayah (pembangunan kewilayahan) dengan upaya
membangun pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah. Pembangunan transmigrasi
berkaitan dengan upaya
pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam (lahan). Transmigrasi
dipandang sebagai sektor pembangunan yang
secara langsung berkaitan
dengan upaya pembentukan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah (Saleh, 2005).
Konsep pengembangan wilayah mengacu pada kemajuan. Kemajuan suatu
wilayah ditandai dengan
banyak hal, tapi
yang paling penting
adalah semakin banyaknya kegiatan
bisnis (usaha) dan
produktifitas masyarakatnya, yang kemudian
berimplikasi pada peningkatan
pendapatan, daya beli,
dan akumulasi kapital, baik
pada tingkat lokal
maupun regional. Kemajuan
ekonomi ini kemudian membawa implikasi
pada kemajuan sosial dan kultural,
yang ditandai oleh semakin
bertambahnya infrastruktur dan
layanan jasa masyarakat
(Saleh, 2005). Ujung dari
rangkaian kegiatan penyelenggaraan transmigrasi
adalah pembinaan/ pemberdayaan masyarakat
transmigrasi, sehingga seringkali dijadikan sebagai
tolok ukur keberhasilan
penyelenggaraan transmigrasi.
Penekanan pembinaan/ pemberdayaan
masyarakat transmigrasi adalah
pada kegiatan ekonomi dan
sosial budaya yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, melalui tingkat pendapatan yang layak untuk hidup di Unit Pemukiman,
masyarakat hidup secara
harmonis tumbuh dan
berkembang menjadi pusat pertumbuhan
atau kawasan ekonomi
sehingga mampu memberi konstribusi bagi pembangunan dan
pengembangan wilayah (Tulie, 2001).
Alisadono et al.
(2006) menyatakan bahwa
dalam penyelenggaraan
pembangunan transmigrasi yang
diawali dengan perencanaan,
pembangunan permukiman,
pembinaan/ pemberdayaan transmigran
dan masyarakat sekitar, serta pemberdayaan
lokasi transmigrasi, akan
melibatkan dan memperhatikan banyak dimensi. Seperti:
instansi yang terlibat dalam pembangunan transmigrasi, penduduk (transmigran)
yang berpindah dari
satu tempat lama
ke tempat yang baru,
kondisi lahan, komoditi
pertanian, pemasaran hasil
pertanian, dan infrastruktur di
lokasi transmigrasi, maka
diperlukan suatu tinjauan
kebijakan dengan pendekatan secara
holistik, yaitu melalui
pendekatan sistem. Dalam sistem
transmigrasi terdapat keterkaitan
dan hubungan satu
dimensi dengan dimensi lainnya.
Manusia di satu pihak dan tanaman, hewan serta lingkungan di lain pihak
menunjukan keterkaitan yang rumit dan bersifat multi dimensi. Namun demikian kerumitan-kerumitan tersebut
merupakan fakta yang
harus dihadapi dan ditangani
untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.
Dalam perencanaan pembangunan
kawasan transmigrasi perlu memperhatikan keterkaitan
antara pusat-pusat kegiatan
yang sudah ada (kota
kecamatan, kota kabupaten)
dengan permukiman transmigrasi
yang akan dibangun. Dengan
demikian dapat diharapkan
akan terdapat hubungan
saling ketergantungan antara pemukiman
transmigrasi yang merupakan
daerah pinggiran dengan kota
sebagai daerah inti
(core areas) (Sitorus
dan Nurwono, 1998).
Hubungan saling ketergantungan ini
dimaksudkan untuk menstimulir pertumbuhan ekonomi,
sosial dan budaya
di pemukiman transmigrasi
yang merupakan hunian dari komunitas baru dengan basis usaha pertanian.
Pada tahun 1979
diperkenalkan konsepsi pengembangan
wilayah di Indonesia dalam
kaitannya dengan penyusunan
landasan kerja untuk
program transmigrasi dengan gagasan
pengembangan tata ruang
nasional (Sitorus dan Nurwono, 1998). Intinya adalah penempatan
satuan permukiman (SP) baru akan dapat
hidup jika unsur-unsur
manusia, sumberdaya alam
dan sarana-sarana
pengusahaan dengan kegiatan
manusia dapat diorganisir.
SP ini berada
dalam satuan kawasan permukiman (SKP) yang berada dalam wilayah
pengembangan partial (WPP) dari
tata ruang nasional.
Beberapa WPP berada
dalam satuan-satuan wilayah pengembangan (SWP).
Pola SP, SKP dan WPP
juga menganut pola aliran barang
dan jasa dalam
struktur pewilayahan pengembangan transmigrasi mengikuti mekanisme
pasar dan berjenjang, yaitu dari SP ke pusat SKP, dari
pusat SKP menuju pusat WPP
dan selanjutnya dikumpulkan
di pusat SWP yang merupakan pintu
gerbang pemasaran kearah luar wilayah, baik untuk lingkup regional,
nasional maupun internasional. Begitu
pula arus barang
dan jasa dari luar
pertama kali masuk
pintu gerbang SWP
untuk kemudian didistribusikan ke
pusat-pusat yang lebih rendah.
Struktur perencanaan pembangunan
kawasan transmigarsi diwujudkan dalam satuan-satuan interaksi
terkecil hingga terbesar secara berjenjang (Sitorus dan Nurwono 1998), yang mempunyai ciri-ciri berupa:
1. Satuan Permukiman
(SP), merupakan satuan
interaksi terkecil dengan kepentingan utama
permukiman sebagai tempat
tinggal (hunian), tempat usaha dan kegiatan-kegiatan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari.
2. Satuan Kawasan
Pengembangan (SKP), merupakan
kumpulan beberapa SP, dimana
SP utama berfungsi
sebagai pusat koleksi
pemasaran produk maupun distribusi
kebutuhan lingkungan permukiman
SKP. Pada skala
ini kegiatan perdagangan baru
berlangsung pada tingkat
pedagang pengumpul skala kecil
atau menengah, sehingga
belum memadai bagi pembentukan simpul jasa industri/
produksi manufaktur.
3. Wilayah Pengembangan
Partial (WPP), merupakan
kumpulan beberapa SKP, dimana
SKP utama mempunyai
keuntungan aksesibilitas dalam
arti orientasi geografis pemasaran
yang memenuhi pembentukan
simpul jasa koleksi dan
distribusi. Pada skala
ini telah memenuhi
persyaratan suatu interaksi yang
cukup lengkap bagi
berlangsungnya pertumbuhan kegiatan produksi manufaktur,
sehingga merangsang berkumpulnya
pedagang besar/ grosir pada suatu lokasi. Satuan Wilayah
Pengembangan (SWP), merupakan
kumpulan beberapa WPP, dimana
WPP utama berfungsi
sebagai pintu gerbang
ekspor komoditas transmigran yang bertumpu pada fungsinya sebagai simpul
jasa industri, sedangkan kota-kota
dan pusat-pusat WPP
lainnya mempunyai kedudukan yang
umum, yaitu sebagai
penunjang pintu gerbang
terhadap kota-kota lainnya.
E.
Membangun
Ketahanan Pangan di lahan Transmigrasi
Pengembangan sentra produksi pangan di
kawasan transmigrasi diharapkan dapat meningkatkan
kontribusi transmigrasi bagi produksi pangan dan ketahanan
pangan nasional serta sekaligus upaya distribusi pangan ke berbagai
wilayah Indonesia (Muhaimin 2013). Program transmigrasi bukan hanya sebagai
motor penggerak ekonomi perdesaan, tapi juga sebagai penopang ketersediaan
pangan bangsa, Kawasan transmigrasi yang tersebar di berbagai daerah diharapkan
dapat bertransformasi menjadi lumbung pangan nasional untuk dapat
mengurangi ketergantungan impor dari negara lain dan mewujudkan
ketahanan pangan nasional.
Tersedianya pemanfaatkan pembukaan lahan baru bagi
transmigrasi di berbagai daerah agar dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk
penyediaan lahan pertanian. Keterbatasan lahan di Pulau Jawa, diantisipasi
dengan memanfaatkan ketersediaan lahan di daerah transmigrasi, yang
membentang dari wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku
dan Papua.
Ketahanan pangan dimaksudkan untuk mengoptimalkan
pembangunan dalam rangka mengembangkan sistem ketahanan pangan baik pada
tingkat nasional maupun di tingkat masyarakat. Pangan dalam arti luas
mencangkup pangan yang bersasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi
kebutuhan atas karbohidrat, protein, vitamin, serta mineral yang bermanfaat
bagi pertumbuhan kesehatan manusia, Ketahanan pangan juga di artikan
sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap
saat di semua daerah, mudah memperoleh, aman di konsumsi dan harganya
terjangkau. Kemudian tujuan program ketahanan pangan itu sendiri adalah :
1. Meningkatkan
ketersediaan pangan
2. Mengemnbangkan
diversifikasi pangan
3. Mengembangkan
kelembagaan pangan
4. Pengembangkan
usaha pengelolaan pangan
Pelaksaanaan
program peningkatan ketahanan pangan ini di oprasionalkan dalam bentuk 4
(empat) kegiatan pokok sebagai berikut :
1. Peningkatan
mutu intensifikasi yang dilaksanakan dalam usaha peningkatan produktifitas
melalui penerapan teknologi tepat guna, peningkatan pengetahuan dan
keterampilan petani dalam rangka penerapan teknologi spesifik lokasi.
2. Peluasan
areal tanam ( ekstensifikasi) yang di laksanakan dalam bentuk pengairan serta
perluasan baku lahan dan peningkatan indeks pertanaman melalui percepatan
pengelolaan tanah, penggarapan lahan tidur dan terlantar
3. Pengamanan
produksi yang di tempuh melalui penggunaan teknologi panen yang tepat,
pengendalian organisme penggangu tanaman dan batuan sarana produksi terutama
benih, pada petani yang lahanya mengalami puso.
4. Rehabilitas
dan konserpasi lahan dan air tanah di laksanakan dalam bentuk upaya perbaikan
kualitas lahan kritis/ marginal dan pembuatan terasering serta embung dan
rorak/jebakan air.
F.
Evaluasi dan
kesesuaian lahan
Dari
kegiatan pokok yang terjabar sebelumnya, dalam memulai pemanfaatan lahan
transmigrasi agar lebih optimal dan terarah, evaluasi sumber daya lahan atau
kesesuian lahan snagan di butuhkan untuk dapat menentukan produk yang dapat di
kebangakan di lahan transmigrasi, oleh karnaya dapat di uraikan sebgai berikut
:
1. Klasifikasi
kesesuaian lahan
Evaluasi
lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu
dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi
lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan
keperluan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk
penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat
ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahanpotensial).
Kesesuaian
lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau
sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan-masukan yang
diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik
tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang
dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan
dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat
berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan
pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan
untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih
sesuai.
Struktur
klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan
menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo adalah
keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan
dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak
sesuai (N=Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat
ordo. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala
pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi:
a)
Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala
1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan
ke dalam tiga kelas, yaitu:
1) Kelas
S1 Sangat Sesuai : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau
nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat
minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.
2) Kelas
S2 Cukup sesuai : Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan
berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input).
Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.
3) Kelas
S3 : Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan
sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang
lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas
pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur
tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta.
4) Kelas
N Lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat
dan/atau sulit diatasi.
b)
Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000)
pada tingkat kelas dibedakan atas kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan
tidak sesuai (N).
Subkelas
adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan
dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan
(sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas
terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas kondisi
perakaran (rc=rooting condition). Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas
kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam
pengelolaannya. Contoh kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan
subkelas yang sama dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran
terutama faktor kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan
unit 2. Unit 1 kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan Unit 2 kedalaman
efektif dangkal (<50 cm). Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan
pada kategori unit ini jarang digunakan.
Sedangkan
kelas kemampuan lahan terdapat 14
asumsi yang perlu dimengerti untuk mendukung pengklasifikasian kelas lahan
2. Pendekatan
Dalam Evaluasi Lahan
Berbagai
sistem evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda
seperti sistem perkalian parameter, sistem penjumlahan parameter dan sistem
pencocokan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan
persyaratan tumbuh tanaman
Sistem
evaluasi lahan yang digunakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertaniakn (dulu bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat), Bogor adalah Automated Land Evaluation System atau ALES
(Rossiter dan Van Wambeke, 1997). ALES merupakan suatu perangkat lunak yang
dapat diisi dengan batasan sifat tanah yang dikehendaki tanaman dan dapat
dimodifikasi sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan tentang evaluasi lahan.
ALES mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan (Land Qualities/Land
Characteristics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan berdasarkan persyaratan
tumbuh tanaman. Kriteria yang digunakan dewasa ini adalah seperti yang
diuraikan dalam “Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian”
(Djaenudin et al., 2003) dengan beberapa modifikasi disesuaikan dengan kondisi
setempat atau referensi lainnya, dan dirancang untuk keperluan pemetaan tanah
tingkat semi detil (skala peta 1:50.000). Untuk evaluasi lahan pada skala
1:100.000-1:250.000 dapat mengacu pada Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Tingkat
Tinjau (skala 1:250.000) (Puslittanak, 1997).
3. Prosedur
evaluasi lahan
Proses
evaluasi lahan dan arahan penggunaannya dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: Penyusunan
karakteristik lahan, penyusunan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan
(LURs), proses evaluasi kesesuaian lahan, kesesuaian lahan terpilih/penentuan
arahan penggunaan lahan untuk tanaman tahunan
Secara ringkas prosedur evaluasi
lahan dan penyusunan arahan penggunaan lahan disajikan pada Gambar
a)
Penyusunan karakteristik lahan
Karakteristik lahan yang merupakan
gabungan dari sifat-sifat lahan dan lingkungannya diperoleh dari data yang
tertera pada legenda peta tanah dan uraiannya, peta/data iklim dan peta
topografi/elevasi. Karakteristik lahan diuraikan pada setiap satuan peta tanah
(SPT) dari peta tanah, yang meliputi: bentuk wilayah/lereng, drainase tanah,
kedalaman tanah, tekstur tanah (lapisan atas 0-30 cm, dan lapisan bawah 30-50
cm), pH tanah, KTK liat, salinitas, kandungan pirit, banjir/genangan dan
singkapan permukaan (singkapan batuan di permukaan tanah). Data iklim terdiri
dari curah hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara
diperoleh dari stasiun pengamat iklim. Data iklim juga dapat diperoleh dari
peta iklim yang sudah tersedia, misalnya peta pola curah hujan, peta zona
agroklimat atau peta isohyet. Peta-peta iklim tersebut biasanya disajikan dalam
skala kecil, sehingga perlu lebih cermat dalam penggunaannya untuk pemetaan
atau evaluasi lahan skala yang lebih besar, misalnya skala semi detail
(1:25.000-1:50.000).
Gambar 1. Bagan metode evaluasi dan
arahan penggunaan lahan
b)
Persyaratan tumbuh tanaman
Tanaman mempunyai faktor-faktor yang akan sangat mempengaruhi
dalam pertumbuhannya, nah ada yang namanya faktor internal maupun faktor
eksternal pada tumbuhan.
Pertumbuhandan perkembangan makhluk
hidup merupakan hasil interaksi antara faktor yang terjadi dari dalam tubuh
makhluk itu sendiri (internal) dan juga faktor yang berasal dari luar tubuh
(eksternal).
1. Faktor internal, meliputi :
a. Genetik
Genetik adalah
faktor pembawa sifat menurun yang terdapat di dalam setiap sel makhluk hidup
baik manusia maupun tumbuhan.
b. Hormon ( zat tumbuh
)
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya
adalah Hormon yaitu senyawa organik (zat kimia) yang terdapat pada makhluk
hidup yang mempengaruhi reproduksi, metabolisme serta pertumbuhan dan
perkembangan.
2. Faktor eksternal, meliputi :
a. Nutrisi
Pada tumbuhan,
nutrisi yang diperlukan berupa air dan zat-zat hara yang terlarut didalamnya
yang dirubah melalui proses fotosintesis menjadi zat-zat makanan.
b. Lingkungan
Faktor lingkungan
yang akan sangat berperan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan adalah suhu
udara, cahaya, dan kelembaban
c)
Proses pencocokan ( Matching )
Setelah data karakteristik lahan
tersedia, maka proses selanjutnya adalah evaluasi lahan yang dilakukan dengan
cara matching (mencocokan) antara karakteristik lahan pada setiap satuan peta
tanah (SPT) dengan persyaratan tumbuh/penggunaan lahan. Proses evaluasinya
dapat dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan program ALES ataupun secara
manual. Evaluasi dengan cara komputer akan memberikan hasil yang sangat cepat,
walaupun tanaman yang dievaluasi cukup banyak. Sedangkan dengan cara manual
memerlukan waktu yang lebih lama, karena evaluasi dilakukan satu persatu pada
setiap SPT untuk setiap tanaman. Hasil penilaian berupa kelas dan subkelas
kesesuaian lahan dari tanaman yang dinilai ditentukan oleh faktor pembatas
terberat. Faktor pembatas tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih
tergantung dari karakteristik lahannya. Sebagai contoh disajikan cara penilaian
untuk tanaman kelapa pada SPT 4 dan pisang pada SPT 27. Hasil evaluasi lahan
dinyatakan dalam kondisi aktual (kesesuaian lahan aktual) dan kondisi potensial
(kesesuaian lahan potensial)
d)
Kesesuaian lahan yang terpilih untuk
arahan pengguanaan
Untuk menyusun arahan penggunaan
lahan dari berbagai alternatif komoditas yang sesuai, perlu dipertimbangkan
prioritas daerah dan penggunaan lahan aktual. Dalam penyusunan kesesuaian lahan
terpilih ini, untuk kelompok tanaman pangan dan sayuran, hanya lahan-lahan yang
termasuk kelas Sesuai (kelas S1 dan S2) saja yang dipertimbangkan, sedangkan
untuk tanaman perkebunan dan tanaman buah-buahan, selain lahan yang termasuk
kelas Sesuai (S1 dan S2), juga ditambah dengan lahan yang termasuk kelas Sesuai
Marginal (kelas S3) karena tanaman tahunan lebih diprioritaskan dalam proyek
ini. Cara penentuan arahan komoditas unggulan berdasarkan kesesuaian lahan dan penggunaan
lahan disajikan pada Tabel 11. Dalam menyusun arahan ini, lahan- lahan yang
telah digunakan dan bersifat permanen, misalnya perkebunan dan sawah akan
dipertahankan selama kelas kesesuaiannya termasuk sesuai dan tidak membahayakan
keadaan lingkungan. Lahan-lahan demikian diarahkan untuk intensifikasi dalam
rangka peningkatan produktivitas. Pada lahan yang belum digunakan secara
intensif sebagai areal pertanian, misalnya semak/belukar, hutan yang dapat
dikonversi atau lahan pertanian terlantar diarahkan sebagai areal
ekstensifikasi tanaman yang sesuai (Ritung dan Hidayat, 2003).
Strategi
dalam pengembangan pemanfaatan yang di lakukan sebagai aktifitas di kawasan
transmigrasi sangan di perlukan guna mengarahkan seluruh aktifitas sebagai
tujuan pembangunan transmigrasi yang baik setelah di ketahuinya potensial lahan
melalui evaluasi sumber daya lahan.
1.
Peningkatan mutu intensifikasi
Untuk meningkatkan produktivitas dan
produksi komoditi pertanian dan peternakan dilakukan dengan peningkatan mutu
intensifikasi secara berkelanjutan dan efisien juga dilakukan penerapan
teknologi tepat guna,, spesifikasi lokasi dan ramah lingkungan dengan perbaikan
budidaya tanaman dan ternak dan efisiensi usaha tani meliputi optimalisasi
penggunaan air, penggunaan benih/bibit unggul bermutu, inseminas buatan (IB),
transfer embrio, pemupukan berimbang, pengendalian OPT/PHM, menekan kehilangan
hasil, penyediaan sarana produksi dan alat mesin pertanian
2.
Perluasan areal tanam dan peningkatan populasi
Pelaksanaan perluasan areal tanam dan
peningkatan populasi ternak dilaksanakan dengan meningkatkan intensitas
pertanaman dan penambahan luas baku lahan melalui pemanfaatan lahan secara
optimal serta distribusi dan resdistribusi ternak
3.
Pengembangan usaha tani
Modernisasi dan restrukturisasi produksi
pertanian dan peternakan yang berorientasi agribisnis dan pasar maka perlu
dikembangkan kemampuan manajemen usaha tani dan budidaya ternak yang dimulai
dari perencanaan, panen, pasca panen dan pengolahan hasil, standarisasi produk
pertanian dan peternakan, penanganan harga, kemitraan dan promosi
4.
Kelembagaan
Pengembangan dan pemberdayaan
kelembagaan (kelompok tani, HKTI, KTNA, P3A dan lembaga lainnya) diprioriaskan
untuk menciptakan kelembagaan yang kuat produktif dan berdaya saing sangat
diperlukan untuk mewujudkan pertanian dan peternakan yang tangguh dalam konsep
saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan
5. Infrastruktur
Pengembangan dan peningkatan
infrastruktur (irigasi dan jalan usaha tani) di setiap sentra produksi pertanian
dan peternakan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani
6.
Revitalisasi pertanian
Revitalisasi pertanian dilakukan
dengan upaya kordinasi dan sosialisasi program pembangunan pertanian disamping
pemenuhan kekurangan tenaga penyuluh (PPL) dan pengembangan kelompok tani
melalui peningkatan sumber daya manusia petani serta peningkatan sumber daya
manusia petugas pertanian yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan
petani.
G.
Optimalisasi
Di Sektor Pertanian dan Peternakan
1. Prospek Pengembangan Usahatani Transmigrasi
Berwawasan Agribisnis
Pemasyarakatan
agribisnis melalui pengembangan usaha pertanian yang berorientasi agribisnis
menitik beratkan pada upaya pengembangan instrument-instrumen agribisnis
sebagai sesuatu sistem ditingkat makro, yaitu : peningkatan mutu hasil
pertanian, pengembangan pasar dan informasi pasar, pengembangan usaha dan
hubungan kelembagaan serta pengembangan investasi yang berwawasan lingkungan.
Ditingkat makro yaitu penerapan-penerapan konsep pengembangan sentra komoditi
yang merupakan satuan kawasan pengembangan agribisnis lokalita (KAPAL).
Kebijaksanaan
operasional untuk pengembangan standarisasi dan akreditas hasil pertanian yang
diarahkan pada pengembangan/pemasyarakatan sistem jaminan mutu mulai dari hulu (tingkat
petani) sampai dengan hilir. Di tingkat petani pemasyarakatan mutu, yang
dimulai dari pengelolaan budidaya sampai pada tingkat manajemen budidaya.
Sementara ditingkat hilir, pemasyarakatan standar mutu produk diarahkan pada
permintaan pasar.
Dalam pengembangan pasar
dan informasi pasar kebijakan
makro yang perlu diambil dalam rangka perbaikan struktur dan sistem pasar,
antara lain ialah :
a) Adanya
perumusan aturan main antara pelaku, sehingga masing-masing pelaku dapat
bertransaksi secara seimbang, dan tidak terjadi eksploitasi antara pelaku.
b) Penerapan
model-model kelembagaan yang dapat menciptakan transparasi pembentukan harga
(price discovery) dan menghilangkan kolusi.
c) Melancarkan
arus informasi pasar dari dan ke, antara sentra produksi dan pasar baik
domestik maupun internasional.
Kemudian dalam pengembangan usaha dan hubungan kelembagaan
Kebijaksanaan
untuk menumbuhkan usaha dibidang pertanian serta meningkatkan peranan
kelembagaan diarahkan pada :
a)
Pengembangan
usahatani melalui pola kemitraan usaha dan kewirausahaan.
b)
Pengembangan
kelembagaan agribisnis di pedesaan.
c)
Meningkatkan
keterkaitan antara sektor pertanian dengan sector-sektor hilir.
d)
Pengembangan
sumber daya dan sarana agribisnis, serta Peningkatan kerjasama organisasi
profesi.
Pengembangan investasi berwawasan lingkungan Guna mendorong pengembangan
investasi dan aspek permodalan dibidang agribisnis ditempuh dengan cara
mengupayakan agar investasi agribisnis sejalan dengan insentif pada sektor
lainnya baik melalui kebijakan moneter, fiskal maupun teknis. Kebijakan
pemerintah dalam pengembangan modal investasi.
2. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis
Sistem Pertanian Organik
Pertanian
organik semakin mendapat perhatian dari sebagian besar masyarakat, baik di
negara maju maupun negara berkembang, khususnya mereka yang sangat
memperhatikan kualitas kesehatan, baik kesehatan manusia maupun lingkungan.
Produk pertanian organik diyakini dapat menjamin kesehatan manusia dan
lingkungan karena dihasilkan melalui proses produksi yang berwawasan
lingkungan. Trend masyarakat dunia untuk kembali ke alam (back to nature) telah
menyebabkan permintaan produk pertanian organik di seluruh dunia tumbuh pesat
sekitar 20 – 30 % per tahun. Berdasarkan hal tersebut, diperkirakan pada tahun
2012 ,pangsa pasar dunia terhadap produk pertanian organik akan mencapai U$ 100
milyar.
Pertanian berkelanjutan (sustainable
agriculture) Adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui
(renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable
resources), untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif
terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi :
penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya.
Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada
penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan.
Pertanian
organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di
dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (intercropping),
penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik
memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan
sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah. The International Federation
of Organic Agriculture Movements (IFOAM) menyatakan bahwa pertanian organik
bertujuan untuk:
a) menghasilkan produk pertanian yang
berkualitas dengan kuantitas memadai,
b) membudidayakan tanaman secara alami,
c) mendorong dan meningkatkan siklus
hidup biologis dalam ekosistem pertanian, serta memelihara dan meningkatkan
kesuburan tanah jangka panjang,
d) menghindarkan seluruh bentuk cemaran
yang diakibatkan penerapan teknik pertanian,
e) memelihara keragaman genetik sistem
pertanian dan sekitarnya, serta
f) mempertimbangkan dampak sosial dan
ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani.
Beberapa kegiatan
yang diharapkan dapat menunjang dan memberikan kontribusi dalam meningkatkan
keuntungan harmonisasai produktivitas pertanian dalam jangka panjang,
meningkatkan kualitas lingkungan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat
tani adalah sebagai berikut:
a)
pengendalian
hama terpadu, aplikasi sistem rotasi dan budidaya rumput,
b)
konservasi
lahan,menjaga kualitas air/lahan basah,
c)
aplikasi
tanaman pelindung, diversifikasi lahan dan tanaman,
d) pengelolaan nutrisi tanaman, groforestri
(wana tani),
e) manajemen
pemasaran,audit dan evaluasi manajemen pertanian secara terpadu dan holistik.
Berdasarkan
penjabaran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
pertanian organik merupakan salah satu teknologi alternatif pertanian yang
memberikan berbagai hal positif, yang dapat diterapkan pada usaha tani,
sehingga produk-produk hasil pertanian dapat bernilai komersial tinggi,
menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dan keamanan pangan, dan dapat memberikan
kesadaran masyarakat dan petani khususnya dalam melestarikan ekosistem
lingkungan. Oleh karena itu, untuk menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan
yang harmonis dan berkelanjutan, perlu dilakukan upaya antara lain :
1. sosialisasi pemasyarakatan mengenai
pentingnya pertanian yang ramah lingkungan, penggalakkan konsumsi produk hasil
pertanian organik, dan
2. diperlukan lebih banyak
kajian/penelitian untuk mendapatkan produk organik yang berkualitas tinggi.
Oleh karena itu perlu ditekankan bahwa usaha tani yang berorientasi pasar
global perlu menekankan aspek kualitas, keamanan, kuantitas dan harga yang
bersaing. Mari kita sambut dan sukseskan realisasi program kerja Go Organic
3.
Membangun
Industri Peternakan Berkelanjutan
Melalui
kemajuan teknologi khususnya teknoligi biologis dan kimiawi yang disebut
sebagai revolusi hijau (green revolution), telah membawa perubahan besar baik
di bidang pertanian maupun pada ekosistem secara keseluruhan. Kemajuan
teknologi ini menyebabkan manusia mampu menghasilkan produk-produk pertanian,
khususnya bahan pangan yang jauh lebih besar daripada kemampuan produksi
alamiah dari alam.
Perkembangan
yang bersifat trade off tersebut di satu sisi mampu meningkatkan produksi dan
produktivitas sektor peternakan dalam memenuhi kebutuhan manusia yang semakin
meningkat sejalan dengan meledaknya jumlah penduduk. Di sisi lain menyebabkan
penurunan (worse off) kualitas lingkungan hidup. Hal ini menyebabkan sektor
peternakan menjadi semakin tergantung dengan input luar yang tinggi dengan
penggunaan teknologi canggih. Sistem peternakan yang semakin tergantung dengan
dengan input luar yang berlebihan dan tidak seimbang, tidak hanya berdampak
pada ekologi dan lingkungan, tetapi juga terhadap situasi ekonomi, sosial dan
politik diantaranya dengan adanya ketergantungan pada impor peralatan, bibit
serta input lainnya.
Perubahan
konsep agriculture (budaya bertani) menjadi agribusines (bisnis pertanian) yang
lebih berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dengan tuntutan efisiensi
yang tinggi telah memunculkan paradigma baru dalam peternakan dengan
menggunakan teknologi canggih (sophisticated) yang cenderung kurang
memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Perkembangan ini telah menyebabkan
ketidakseimbangan biokimia ekosistem yang terwujud dalam bentuk kemerosotan
bahkan kerusakan ekosistem mulai dari skala mikro, makro, dan skala global
(misalnya : global warming, ozon layer depletion, global klimat change), yang
pada akhirnya dapat mengancam kesejahteraan dan keberlanjutan hidup manusia.
Peningkatnya
pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan, telah meningkatkan
perhatian konsumen tentang aspek informasi nutrisi dari makanan yang akan
dikonsumsi. Konsumen yang kita hadapi saat ini dan yang akan datang telah
menuntut (demanding demand) kualitas bahan makanan konsumsi yang aman dan
menyehatkan. Secara keseluruhan hal ini telah menyebabkan peningkatan tuntutan
akan keberagaman (increased demand for variety), tuntutan akan atribut gizi
yang lengkap (increased nutritional information), dan peningkatan tuntutan akan
kenyamanan dalam menkonsumsi (increased demand for convenience).
Perkembangan
mutahir dari preferensi konsumen yang secara konvergen telah merubah perilaku
konsumen dalam mengevaluasi produk yang akan dibeli. Dewasa ini konsumen telah
menuntut atribut produk yang lebi rinci dan lengkap. Bahan pangan aman untuk
kesehatan (food safety attributes), seperti kandungan patogen (food bone
patogens), kandungan logam berat (heavy metals) dan sebagainya. Bahan makanan
mengandung nutrisi yang dapat mendukung kesehatan (nutritional attributes),
seperti kandungan lemak (fat content), kandungan serat (fiber), kandungan
mineral, asam amino dan lain sebagainya. Kandungan nilai dari bahan makanan
(value attributes), seperti kemurnian (purity), komposisi kimia apakah alamiah
atau diperkaya (enrichment), ukuran (size), penampilan (appearance), rasa
(tastes), dan aspek nilai penyajian (konventence of preparation). Bagaimana
pengepakan dilakukan (package attributes), apa materialnya, label dan informasi
lainnya.
Dalam
ligkungan dan iklim seperti ini maka yang menjadi perhatian untuk dapat
memanfaatkan peluang adalah suatu industri peternakan yang efisien dan
berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumber daya alam
setempat secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Oleh karena itu pendekatan pembangunan peternakan dengan paradigma lama perlu
dikembangkan dan disesuaikan dengan melakukan perubahan yang sistematis dan
integratif dalam paradigma pembangunan. Perubahan preferensi konsumen yang
lebih menginginkan produk yang ramah lingkungan perlu diikuti perkembangannya
dan diendogenuskan dalam pembangunan industri agribisnis berbasis peternakan.
Untuk itu perlu dilakukan pengkajian kembali terhadap pemanfaatan teknologi
agar tidak hanya berorientasi pada penggunaan input energi secara maksimal,
tetapi perlu diarahkan pada penggunaan teknologi yang ramah lingkungan. Tujuan
pembangunan harus tetap berjalan seimbang yaitu peningkatan produktivitas dan
produksi dalam memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat dan disisi
lain harus memperhatikan pencapaian keberlanjutan sistem produksi, peningkatan
kesejahteraan petani, dan pelestarian lingkungan hidup yang memerlukan langkah
terobosan di bidang penelitian.
Pembangunan
peternakan harus dilakukan dengan pola pembagunan berkelanjutan yang diartikan
sebagai upaya pengelolaan dan konservasi sumber daya peternakan (lahan, air,
dan sumber daya genetik) melalui orientasi perubahan teknologi dan kelembagan
sedemikian rupa sehingga menjamin tercapainya kebutuhan yang diperlukan secara
berkesinambungan dari waktu ke waktu.
Pembangunan
peternakan berkelanjutan yang memperhatikan aspek konservasi sumber daya alam,
air dan sumber daya genetik tanaman dan hewan tersebut harus berwawasan
ligkungan, artinya: tidak menimbulkan pencemaran serta degradasi dalam mutu
lingkungan hidup, yakni secara teknis tepat guna, secara ekonomi layak
diusahakan, secara sosial dapat diterima, secara ekologis tetap menjamin
keseimbangan ekosistem lainnya. Implikasinya pembangunan peternakan berwawasan
lingkungan adalah terpeliharanya kapasitas produksi sumber daya alam,
mengurangi dampak pencemaran dan penurunan kualitas linkungan hidup, dapat
menghasilkan produk primer maupun sekunder yang berkualitas dan higienis dan
berdaya saing tinggi, serta dapat menyediakan lapangan kerja dan pendapatan
yang memadai bagi peternak.
Dilihat
dari basis sumber daya yang digunakan, agribisnis peternakan sangat tergantung
pada faktor ekosistem atau lingkungan. Oleh karena itu pembangunan peternakan
dengan pendekatan agribnisnis dapat terus tumbuh secara berkelanjutan sesuai
dengan ekosistem spesifik lokasi dimana agribisnis dikembangkan. Strategi
pembangunan peternakan yang berkelanjutan pada sistem produksi dilakukan dengan
pendekatan usahatani (farming system) berupa integrasi tanaman dan ternak,
pendaurulang bahan organik, pengolahan lahan konservasi, pengurangan bahan
input kimia (LISA = Low Input Sustainable Agriculture), pengendalian hama
terpadu dan sistem produksi tanaman-ternak. Pada subsitem agroindustri
dilakukan pengolahan produksi peternakan primer menjadi sekunder atau tersier
serta pengolahan limbah. Beberapa keuntungan pembangunan peternakan yang
berkelanjutan dengan pendekatan agribisnis antara lain :
1. Pengembangan
agribisnis peternakan didasarkan atas sumber daya alam yang dapat diperbaharui
(renewable) tidak akan pernah habis.
2. Kegiatan
agribsinis peternakan dapat diintegrasikan dengan mudah sehingga interaksi
masyarakat dengan lingkungan dapat dipertahankan.
3. Dapat
membuka peluang kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan dengan adanya nilai
tambah hasil produksi peternakan bersifat standar, berkualitas baik dan berdaya
saing tinggi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pada dasarnya Pertambahan atau
peningkatan jumlah penduduk dikarenakan oleh adanya Urbanisasi, sehingga dalam
hal ini untuk menanggulangi masalah ini pemerintah mengambil satu kebijakan
yaitu dengan Progran transmigrasi
yang tujuannya adalah mengurangi tingkat pengangguran, membantu
pembangunan regional, pembangunan pertanian, penyediaan hidup yang lebih baik,
membantu integrasi dan keamanan nasional.
Kebijakan
transmigrasi mempunyai peranan penting dalam mengatasi komposisi penduduk di
Indonesia. Kebijakan transmigrasi diarahkan pada orientasi kepentingan daerah
dan bukan semata-mata berdasarkan pemerintah yang bersifat top down. Dengan
demikian akan diperoleh tujuan dari transmigrasi yakni
1. Mendukung
ketahanan pangan dan penyediaan papan.
2. Mendukung
pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia.
3. Mendukung
ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan.
4. Menyumbang
bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan
5. Pemerataan penyebaran penduduk di
sejumlah pulau dan derah yang jarang penduduk.
Kebijakan
transmigrasi diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan
masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Enyelenggaraan transmigrasi
mempunyai sasaran sebagai peningkatan kemampuan dan produktifitas masyarakat
transmigrasi, membangun kemandirian dan mewujudkan integrasi di pemukiman
transmigrasi sehingga diharapkan membawa implikasi positif secara ekonomi,
sosial dan budaya pada daerah penerima transmigran
Program kerja transmigrasi ini pun
masih banyak mengalami berbagai macam hambatan yaitu karena suatu administrasi terpusat yang efektif
dan kuat tidak ada. Salah satu masalah utama yang di hadapi adalah
pemilihan tempat yang kurang baik dilihat dari sudut lokasi, mudah tidaknya
di capai dan kondisi tanah yang kesemuanya menyebabkan perkembangan proyek
tersendat – sendat,
terbengkalai atau reabilitasi yang mahal ada tahap berikutnya atau kerusakan
ekologis yang serius.
Pengembangan sentra produksi pangan di kawasan
transmigrasi diharapkan dapat meningkatkan
kontribusi transmigrasi bagi produksi pangan dan ketahanan
pangan nasional serta sekaligus upaya distribusi pangan ke berbagai
wilayah Indonesia (Muhaimin 2013). Program transmigrasi bukan hanya sebagai
motor penggerak ekonomi perdesaan, tapi juga sebagai penopang ketersediaan
pangan bangsa, Kawasan transmigrasi yang tersebar di berbagai daerah diharapkan
dapat bertransformasi menjadi lumbung pangan nasional untuk dapat
mengurangi ketergantungan impor dari negara lain dan mewujudkan
ketahanan pangan nasional.
Evaluasi
lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu
dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi
lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan
keperluan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk
penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat
ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian
lahanpotensial).
Proses
evaluasi lahan dan arahan penggunaannya dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:
Penyusunan karakteristik lahan, penyusunan persyaratan tumbuh
tanaman/penggunaan lahan (LURs), proses evaluasi kesesuaian lahan, kesesuaian
lahan terpilih/penentuan arahan penggunaan lahan untuk tanaman tahunan
strategi
dalam pengembangan pemanfaatan yang di lakukan sebagai aktifitas di kawasan
transmigrasi sangan di perlukan guna mengarahkan seluruh aktifitas sebagai
tujuan pembangunan transmigrasi yang baik setelah di ketahuinya potensial lahan
melalui evaluasi sumber daya lahan yakni peningkatan mutu intensifikasi, perluasan areal tanam dan peningkatan
populasi, pengembangan usaha tani, kelembagaan, Infrastruktur, revitalisasi
pertanian
B.
Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya, dan bagi masyarakat Prodi Pendidikan Geografi STKIP PGRI Pontianak
pada khususnya. Dapat menambah pengetahuan dalam hal pengembanganya
transmigrasi demi terujudnya ketahanan pangan nasional, dapat mengoptimalisasi
sumber daya lahan dan memberikan perhatian terhadap daerah-daerah transmigrasi
sehingga tercapainya tujuan pemerintah yaitu adanya keseimbangan jumlah
penduduk, perluasan kesempatan pekerjaan dan kesejahteraan.
Bagi para pembaca makalah ini, saya sebagai penyusun makalah ini,
sangat mengharap atas segala saran - saran dan kritikan bagi para pembaca yang kami
hormati guna untuk membangun pada masa yang akan datang untuk
menjadi yang lebih baik dalam membenarkan alur-alur yang semestinya kurang
memuaskan bagi teman -
teman dan para pembaca sekalian dan mudah - mudahan makalah ini bisa bermanfaat untuk kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad,Sulistinah.1995.Pelaksanaan Program Transmigrasi dan Permasalahannya, dalam Warta Demografi, No. 2, Th. 25.
Ariyanta,Begawan.2013.Pesebaran Penduduk Indonesia. [Online]
tersedia : http://begawanariyanta.wordpress.com/2013/02/27/khazanah-peta-5-persebaran-penduduk-indonesia/
Collin Mac Andrew Dr. dan Raharjo Drs. M.A. 1983. Pemukiman
di asia tenggara.
Jogjakarta : Gajah Mada
University Press
Dwi
adiatmojo,gatot.2008.Model Kebijakan
Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan Di Lahan Kering.pdf creator
Heeren,
H.J.1979. Transmigrasi di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia
Ritung,sofyan.dkk.2007.Evaluasi Kesesuaian Lahan.bogor : balai
penelitian tanah dan ICRAF
Rohmad.2012. Pembangunan Agribisnis Peternakan.[Online].tersedia : http://rohmatfapertanian.wordpress.com/2012/07/20/pembangunan-agribisnis-peternakan/
Sitanala Arsyad (2006). Konservasi
Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Sumarajaya, I Wayan.2001.Prospek
Pengembangan Program Transmigrasi Dalam Era Otonomi Daerah.
[Online]tersedia:http://www.deptan.go.id/daerah_new/ntt/distan_ntt/keg.apbn_files/PROGRAM%20PENINGKATAN%20KETAHANAN%20PANGAN.htm
[Online]tersedia:http://depnakertans.go.id/tentang/transmigrasi
[Online]tersedia:http://www.serdangbedagaikab.go.id/indonesia/index.php?mod=home&opt=content&jenis=4&id_kat_content=46&id_module=9&mode=2
[Online]tersedia:http://id.wikipedia.org/wiki/Transmigrasi
[Online]tersedia:http://www.jevuska.com/topic/program+program+kerja+urbanisasi.html
0 Response to "Membangun Prosfek Positif Sumber Pangan Di Lahan Transmigrasi"
Posting Komentar