Bagaimanakah sebenarnya para
astronom untuk dapat menghitung dan mengetahui jarak diantara benda-benda
langit seperti bintang, planet, galaksi, dsb. dengan menggunakan metode
penentuan jarak bintang dan objek benda langit lainnya para astronom dapat
mengetahui jarak bintang dan benda langit lainnya.
Mengukur
Jarak Bintang Menggunakan Metode Paralaks
Paralaks
adalah perbedaan latar belakang yang tampak ketika sebuah benda yang diam
dilihat dari dua tempat yang berbeda . Kita bisa mengamati bagaimana paralaks
terjadi dengan cara yang sederhana. Acungkan jari telunjuk pada jarak tertentu
(misal 30 cm) di depan mata kita. Kemudian amati jari tersebut dengan satu mata
saja secara bergantian antara mata kanan dan mata kiri. Jari kita yang diam
akan tampak berpindah tempat karena arah pandang dari mata kanan berbeda dengan
mata kiri sehingga terjadi perubahan pemandangan latar belakangnya.
“Perpindahan” itulah yang menunjukkan adanya paralaks.
Paralaks juga terjadi pada bintang, setidaknya
begitulah yang diharapkan oleh pemerhati dunia astronomi ketika model
heliosentris dikemukakan pertama kali oleh Aristarchus (310-230 SM). Dalam
model heliosentris itu, Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam orbit yang
berbentuk lingkaran. Akibatnya, sebuah bintang akan diamati dari tempat-tempat
yang berbeda selama Bumi mengorbit. Dan paralaks akan mencapai nilai maksimum
apabila kita mengamati bintang pada dua waktu yang berselang 6 bulan (setengah
periode revolusi Bumi). Namun saat itu tidak ada satu orangpun yang dapat
mendeteksinya sehingga Bumi dianggap tidak bergerak (karena paralaks dianggap
tidak ada). Model heliosentris kemudian ditinggalkan orang dan model
geosentrislah yang lebih banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku alam semesta.
Paralaks pada bintang baru bisa diamati untuk pertama
kalinya pada tahun 1837 oleh Friedrich Bessel, seiring dengan teknologi
teleskop untuk astronomi yang berkembang pesat (sejak Galileo menggunakan
teleskopnya untuk mengamati benda langit pada tahun 1609). Bintang yang ia
amati adalah 61 Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki
paralaks 0,29″. Ternyata paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai
yang sangat kecil. Hanya keterbatasan instrumenlah yang membuat orang-orang
sebelum Bessel tidak mampu mengamatinya. Karena paralaks adalah salah satu
bukti untuk model alam semesta heliosentris (yang dipopulerkan kembali oleh
Copernicus pada tahun 1543), maka penemuan paralaks ini menjadikan model
tersebut semakin kuat kedudukannya dibandingkan dengan model geosentris Ptolemy
yang banyak dipakai masyarakat sejak tahun 100 SM.
Setelah paralaks bintang ditemukan, penghitungan jarak
bintang pun dimulai. Lihat ilustrasi di bawah ini untuk memberikan gambaran
bagaimana paralaks bintang terjadi. Di posisi A, kita melihat bintang X
memiliki latar belakang XA. Sedangkan 6 bulan kemudian, yaitu ketika Bumi
berada di posisi B, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XB. Setengah
dari jarak sudut kedua posisi bintang X itulah yang disebut dengan sudut
paralaks. Dari sudut inilah kita bisa hitung jarak bintang asalkan kita
mengetahui jarak Bumi-Matahari.
Dari geometri segitiga kita ketahui adanya hubungan
antara sebuah sudut dan dua buah sisi. Inilah landasan kita dalam menghitung
jarak bintang dari sudut paralaks (lihat gambar di bawah). Apabila jarak
bintang adalah d, sudut paralaks adalah p, dan jarak Bumi-Matahari adalah 1 SA
(Satuan Astronomi = 150 juta kilometer), maka kita dapatkan persamaan sederhana, tan p = 1/d atau d = 1/p, karena p adalah sudut yang
sangat kecil sehingga tan p ~ p.
Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung dalam
radian. Apabila kita gunakan detik busur sebagai satuan dari sudut paralaks
(p), maka kita akan peroleh d adalah 206.265 SA atau 3,09 x 10^13 km. Jarak
sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec, parsek), yaitu jarak
bintang yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Pada kenyataannya, paralaks
bintang yang paling besar adalah 0,76″ yang dimiliki oleh bintang terdekat dari
tata surya, yaitu bintang Proxima Centauri di rasi Centaurus yang berjarak 1,31
pc. Sudut sebesar ini akan sama dengan sebuah tongkat sepanjang 1 meter yang
diamati dari jarak 270 kilometer. Sementara bintang 61 Cygni memiliki paralaks
0,29″ dan jarak 1,36 tahun cahaya (1 tahun cahaya = jarak yang ditempuh cahaya
dalam waktu satu tahun = 9,5 trilyun kilometer) atau sama dengan 3,45 pc.
Hingga tahun 1980-an, paralaks hanya bisa dideteksi
dengan ketelitian 0,01″ atau setara dengan jarak maksimum 100 parsek. Jumlah
bintangnya pun hanya ratusan buah. Peluncuran satelit Hipparcos pada tahun 1989
kemudian membawa perubahan. Satelit tersebut mampu mengukur paralaks hingga
ketelitian 0,001″, yang berarti mengukur jarak 100.000 bintang hingga 1000
parsek. Sebuah katalog dibuat untuk mengumpulkan data bintang yang diamati oleh
satelit Hipparcos ini. Katalog Hipparcos yang diterbitkan di akhir 1997 itu
tentunya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap semua bidang astronomi
yang bergantung pada ketelitian jarak.
Mengukur Jarak Bintang Dengan Bintang Cipheid
Kita dapat menentukan jarak bintang dengan menghitung
paralaksnya. Namun metode paralaks itu hanya dapat digunakan untuk
bintang-bintang dekat saja karena teknologi yang kita miliki belum dapat
menghitung paralaks dengan ketelitian tinggi. Jarak terjauh yang bisa diukur
dengan metode paralaks hanya beberapa kiloparsek saja. Lalu bagaimana kita
menghitung jarak bintang-bintang yang lebih jauh? Atau bahkan menghitung jarak
galaksi-galaksi yang jauh? Salah satu caranya adalah dengan menggunakan
hubungan periode-luminositas bintang variabel Cepheid.
Sejarah metode penghitungan jarak ini berawal dari
sebuah penelitian tentang hasil pengamatan terhadap bintang variabel (bintang
yang kecerlangannya berubah-ubah) yang ada di galaksi Awan Magellan Besar dan
Awan Magellan Kecil (LMC dan SMC). Saat itu Henrietta Leavitt, astronom wanita
asal Amerika Serikat, membuat katalog yang berisi 1777 bintang variabel dari
penelitian tersebut. Dari katalog yang ia buat diketahui bahwa terdapat beberapa
bintang yang menunjukkan hubungan antara kecerlangan dengan periode
variabilitas. Bintang yang memiliki kecerlangan lebih besar ternyata memiliki
periode varibilitas yang lebih lama dan begitu pula sebaliknya. Bentuk kurva
cahaya bintang variabel jenis ini juga unik dan serupa, yang ditandai dengan
naiknya kecerlangan bintang secara cepat dan kemudian turun secara perlahan.
Bentuk kurva cahaya seperti itu ternyata sama dengan
kurva cahaya bintang delta Cephei yang diamati pada tahun 1784. Karena itulah
bintang variabel jenis ini diberi nama bintang variabel Cepheid. Penamaan ini
tidak berubah walaupun belakangan ditemukan juga kurva cahaya yang sama dari
bintang Eta Aquilae yang diamati beberapa bulan sebelum pengamatan delta
Cephei.
Hubungan sederhana antara periode dan luminositas
bintang variabel Cepheid ini bisa digunakan dalam menentukan jarak karena
astronom sudah mengetahui adanya hubungan antara luminositas dengan
kecerlangan/magnitudo semu bintang yang bergantung pada jarak. Dari pengamatan
bintang Cepheid kita bisa dapatkan periode variabilitas dan magnitudonya.
Kemudian periode yang kita peroleh bisa digunakan untuk menghitung
luminositas/magnitudo mutlak bintangnya dengan formula M = -2,81 log(P)-1,43.
Karena luminositas/magnitudo mutlak dan magnitudo semu berhubungan erat dalam
formula Pogson (modulus jarak), maka pada akhirnya kita bisa dapatkan nilai
jarak untuk bintang tersebut.
Kunci penentu agar metode ini dapat digunakan adalah
harus ada setidaknya satu bintang variabel Cepheid yang jaraknya bisa
ditentukan dengan cara lain, misalnya dari metode paralaks trigonometri . Jarak
bintang akan digunakan untuk menghitung luminositasnya dan selanjutnya bisa digunakan
sebagai pembanding untuk semua bintang Cepheid. Oleh karena itu, astronom
sampai sekarang masih terus berusaha agar proses kalibrasi ini dilakukan dengan
ketelitian yang tinggi supaya metode penentuan jarak ini memberikan hasil
dengan akurasi tinggi pula.
Menghitung jarak bintang variabel Cepheid menjadi
sangat penting karena kita jadi bisa menentukan jarak gugus bintang atau
galaksi yang jauh asalkan di situ ada bintang Cepheid yang masih bisa kita
deteksi kurva cahayanya. Di sinilah keunggulan metode ini dibandingkan dengan
paralaks, yang hanya bisa digunakan untuk bintang-bintang dekat saja.
Lalu apa sebenarnya yang terjadi pada bintang Cepheid?
Bintang ini mengalami perubahan luminositas karena radiusnya berubah membesar
dan mengecil. Proses ini terjadi pada salah satu tahapan evolusi bintang, yaitu
ketika sebuah bintang berada pada fase raksasa atau maharaksasa merah. Jadi
dengan mempelajari bintang variabel Cepheid kita bisa menghitung jarak
sekaligus mempelajari salah satu tahapan evolusi bintang.
sumber : duniaastronomi.com, geografi-geografi.blogspot.
0 Response to "Cara mengukur jarak bintang dengan menggunakan metode paralaks dan bintang cepheid"
Posting Komentar